Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenal Creative Destruction, Inovasi yang Melahirkan Kerusakan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Meskipun terlihat positif, sharing economy yang lahir dalam bentuk aplikasi-aplikasi kekinian tersebut memiliki banyak sisi negatif. Ranchordas mengungkapkan bahwa ketiadaan asuransi bagi pemakai jasa, khususnya dalam konteks aplikasi ride-sharing seperti Uber dan Go-Jek, merupakan suatu hal yang meresahkan dari aplikasi ini.
Bila dilihat secara lebih menyeluruh, aplikasi-aplikasi yang terangkum dalam sharing economy tersebut, meskipun di satu sisi menguntungkan masyarakat, namun secara bersamaan memiliki sifat merusak terhadap tatanan yang sudah ada, istilahnya sebagai “creative destruction.”
Henrique Schneider, dalam buku berjudul “Creative Destruction and Sharing Economy”, menyebut bahkan istilah creative destruction bukanlah barang baru. Walkman yang lahir pada 1970-an, waktu itu adalah bagian dari creative destruction terhadap teknologi-teknologi yang ada sebelumnya.
Namun, setelah iPod besutan Apple lahir, ia adalah creative destruction bagi bisnis walkman yang lebih dulu ada.
Inti dari lahirnya istilah tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa inovasi sukses menghancurkan produk yang ada sebelumnya. Istilah ini, berikut juga konsep sharing economy, berkembang pesat di akhir dekade 1990-an seiring dengan kian kuatnya keberadaan teknologi internet.
Istilah creative destruction, merujuk apa yang diungkap Schneider, dicetuskan oleh ekonom keturunan Austria-Amerika bernama Joseph Schumpeter dan ekonom Amerika bernama Clayton M. Christensen. Istilah ini sudah muncul di dekade 1940-an.
Creative destruction, menurut Schumpeter, tak serta merta merupakan persoalan sepele. Creative destruction, yang menyaru dalam berbagai bentuk aplikasi ponsel pintar hari ini, adalah bentuk nyata dari pasar bebas.
Schneider, mengutip buku Schumpeter berjudul “In Capitalism, Socialism, and Democracy," mengungkapkan bahwa creative destruction, menurut pandangan Schumpeter, telah sukses “terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, terus-menerus menghancurkan yang lama, terus-menerus menciptakan yang baru. Proses creative destruction ini adalah fakta penting tentang kapitalisme."
Schumpeter mengatakan bahwa creative destruction memiliki inti di dalamnya bernama inovasi. Kekuatan untuk menciptakan barang baru dan pasar baru. Inovasi tak lahir dengan biaya minim. Fakta bahwa suatu penelitian dan pengembangan membutuhkan biaya yang tak murah adalah bukti bahwa inovasi bukanlah frasa sepele.
Schumpeter mengatakan bahwa inovasi hanya mampu diciptakan oleh korporasi yang besar, atau entitas lain pemilik modal. Dalam konteks startup aplikasi, venture capital merupakan entitas pemilik modal itu.
Selanjutnya, Christensen mengungkapkan bahwa creative desctruction memiliki dua implikasi. Low-end disruption dan new-market disruption. Low-end disruption terjadi kala inovasi menggerus kehidupan pemain atau entitas bisnis lama.
Sesungguhnya, salah satu masalah mendasar atas kelahiran creative destruction dalam bentuk aplikasi-aplikasi sharing economy ialah regulasi. Wulf A. Kall dalam jurnal bertajuk “How To Regulate Disruptive Innovation” mengungkapkan bahwa kelahiran aplikasi-aplikasi seperti Uber, Go-Jek, Airbnb, memiliki potensi merusak yang tidak disangka.
Menghancurkan tatanan yang telah kokoh. Tanpa regulasi, kerusakan yang ditimbulkan akan mengakibatkan kehancuran.
Selama ini, dalam mengatasi lahirnya aplikasi-aplikasi demikian, regulator menggunakan strategi trial-and-error. Regulator, dalam berhadapan dengan pesatnya kelahiran aplikasi-aplikasi canggih, menghadapi dilema. Jika terlalu cepat regulasi dibuat, ia akan menghancurkan inovasi. Namun bila terlalu lama, ia akan membahayakan konsumen dan juga pasar.
Di Indonesia, hal ini bisa dilihat perihal aturan ride-sharing. Respons yang lamban dan cenderung membiarkan status quo menyebabkan panasnya hubungan antara kalangan ride-sharing dengan transportasi konvensional yang telah mencengkeram sebelumnya. Creative destruction lahir dalam berbagai bentuk pada masing-masing zaman, dan siap melibas siapa saja yang tak mengikuti gerak arah inovasi.
Tags:
Bisnis