Memahami Naik-Turunnya Gairah Seks Wanita


Naviri Magazine - Ada semacam kepercayaan pada sebagian orang, bahwa wanita akan mulai kehilangan gairah seksnya saat usia yang makin menua, seiring terjadi menopause. Bisa jadi hal itu memang benar, namun sebenarnya tidak semudah atau sesederhana yang mungkin kita pahami. 

Ada sekian banyak hal kompleks lain yang juga perlu dipahami terkait naik-turunnya gairah seks wanita, karena nyatanya permasalahan rendahnya gairah seks wanita tidak terpaku pada faktor fisik dan usia semata. 

Memang benar, perubahan hormonal yang terjadi kala menopause, melahirkan, atau menyusui, bisa berkontribusi terhadap penurunan gairah seks perempuan. Namun, lenyapnya gairah juga dapat terjadi karena dikombinasikan dengan faktor mental. Faktor itu terkait stres, depresi, rasa cemas, dan keletihan perempuan. 

Soal-soal itu bisa disebabkan oleh banyaknya tanggung jawab yang harus diselesaikan perempuan, terlebih mereka yang memutuskan bekerja. Tingginya biaya kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak adalah salah satu alasan yang mendorong perempuan untuk terjun di ranah profesional, di samping alasan aktualisasi diri perempuan itu sendiri.

Terkait rasa cemas, gairah seks perempuan yang minim bisa merupakan buah dari pikiran-pikiran mengganggu yang menghantui kepala mereka, mulai dari penilaian diri atau citra tubuh yang rendah sampai trauma karena pernah mengalami kekerasan seksual. Kecemasan juga dapat bersumber dari adanya konflik-konflik dalam relasi yang berdampak terhadap gairah dan kenikmatan seks perempuan.

Kecemasan ini pada akhirnya bisa menimbulkan gejala fisik seperti ketegangan otot atau kesulitan bernapas. Dilansir Anxiety.org, perempuan yang mengalami kecemasan mengaku sulit merasakan rangsangan seksual, minim lubrikasi vagina, dan merasakan nyeri saat bersenggama.

Gairah seks perempuan juga bisa dipengaruhi oleh konsumsi obat-obatan penyakit tertentu seperti antidepresan dan anti-kejang. Selain itu, penyakit seperti artritis, kanker, diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, dan penyakit saraf lainnya juga ditulis dalam Mayo Clinic bisa berefek terhadap gairah perempuan di ranjang. 

Namun, soal bentuk tubuh ternyata tidak serta merta mempengaruhi kehidupan ranjang suami-istri. Gairah seks perempuan, seperti halnya laki-laki, lebih banyak dipengaruhi oleh frekuensi latihan fisik yang dilakukan. 

Saat seseorang rutin berolahraga, ia akan lebih mungkin terhindar dari suasana hati yang buruk, depresi, dan kecemasan. Penulis The Psychology Behind Fitness Motivation, Kim Chronister pun menyatakan, latihan fisik bisa meningkatkan level hormon yang berandil terhadap gairah seks perempuan. 

Pada akhirnya, organ yang paling besar peranannya dalam kehidupan seks adalah otak manusia. Rangsangan atau makanan dan obat-obatan pemicu gairah sebanyak apa pun, jika diberikan kepada perempuan yang tidak siap secara mental untuk berhubungan seks, tidak akan menimbulkan efek positif apa pun.   

Situasi ‘abnormal’ kehidupan ranjang

Wacana tentang gairah seks perempuan tidaklah sederhana. Di samping ragam faktor yang mendorong terjadinya situasi ini, ada kritik-kritik dari sejumlah pakar mengenai konsep gairah seks atau libido yang rendah. Seperti apa takaran seorang perempuan dikatakan memiliki gairah seks yang normal, dan siapa yang menetapkannya? Seberapa sering frekuensi perempuan bersenggama sehingga ia tidak disebut abnormal?

Dalam WebMD, asisten profesor dari Harvard Medical School, Jan Shifren, MD, menyatakan, “Tidak ada pakem frekuensi normal atau perilaku tertentu saat membicarakan tentang seksualitas perempuan, dan hal ini terus berubah seiring waktu.”

Generalisasi tentang seksualitas perempuan juga dapat disokong oleh minimnya studi-studi terkait. Menurut Phyllis Greenberg, MSW, presiden Society for Women’s Health Research, terdapat hampir 5.000 studi soal fungsi seksual laki-laki yang diterbitkan, sementara studi seksualitas perempuan hanya 2.000. Dari studi-studi soal seksualitas perempuan ini pun, masih banyak celah yang dikritik oleh peneliti-peneliti lain.

Satu contoh studi terkait seksualitas perempuan disoroti oleh Ray Monihan dalam risetnya, yang berjudul “The Making of a Disease: Female Sexual Dysfunction” (2003). Ia melihat, definisi tentang disfungsi seksual perempuan, yang dapat dinilai dari gairah seks yang rendah, merupakan akal-akalan kapitalisme.

Pendapat Monihan diperkuat oleh pernyataan Dr. Bella Ellwood-Clayton, antropolog dan penulis Sex Drive: in Pursuit of Female Desire. 

“Perempuan dengan libido rendah dikatakan memiliki disfungsi seksual yang disebut hypoactive sexual desire disorder (HSDD). Masalahnya, banyak peneliti yang mengatakan hal seperti ini terikat kerja sama dengan perusahaan farmasi,” ujarnya dalam Huffington Post. 

Tim Editor

Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik, Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no: 186)

Post a Comment

Previous Post Next Post